Koordinator unjuk rasa Handriansyah mengatakan, praktik “transfer pricing” yang dilakukan sejumlah perusahaan tambang batubara di Indonesia itu telah merugikan negara hingga Rp10 triliun dalam dua tahun terakhir. Kerugian itu terdiri dari Rp6 triliun pada tahun 2005 dan Rp4 triliun pada 2006. “Angka kerugian negara akibat persekongkolan penggelapan pajak sektor batubara ini akan terus membengkak mengingat praktek kotor ini masih akan berlangsung,” katanya.
Jumat, 30 November 2007
Dirjen Pajak Diminta Usut Kasus Transfer Pricing
Koordinator unjuk rasa Handriansyah mengatakan, praktik “transfer pricing” yang dilakukan sejumlah perusahaan tambang batubara di Indonesia itu telah merugikan negara hingga Rp10 triliun dalam dua tahun terakhir. Kerugian itu terdiri dari Rp6 triliun pada tahun 2005 dan Rp4 triliun pada 2006. “Angka kerugian negara akibat persekongkolan penggelapan pajak sektor batubara ini akan terus membengkak mengingat praktek kotor ini masih akan berlangsung,” katanya.
Kamis, 08 November 2007
Penggelapan Pajak Asian Agri Senilai Rp1,34 Trln Mulai Disidik
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, AH. Ritonga, di Jakarta, Kamis, mengatakan tim penyidik juga sudah menetapkan delapan tersangka dalam kasus itu. Kedelapan tersangka itu adalah ST, WD, LA, TBK, AN, EL, LBH dan SL.
"Nama tersangka masih dalam inisial karena masih dalam penyidikan PPNS pada Ditjen Pajak," kata Jampidum. Jampidum tidak bersedia merinci identitas para tersangka. Dia hanya menyatakan bahwa ST adalah pihak yang menandatangani surat pemberitahuan pajak.
Perusahaan-perusahaan itu dinilai tidak memberikan atau memberikan data yang tidak benar dalam surat pemberitahuan pajak. Perbuatan itu merupakan pelanggaran hukum, seperti diatur dalam pasal 39 UU Perpajakan.
Menurut Jampidum, modus yang ditempuh adalah penggelembungan pengeluaran perusahaan, antara lain dengan mencantumkan pengeluaran manajemen fiktif.
Jampidum menyatakan penggelapan pajak tersebut berlangsung sekian lama. Temuan terakhir penyidik menyebutkan penggelapan terakhir terjadi pada Mei 2007.
Dengan menaikkan data pengeluaran, maka perusahaan itu bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak.
Tim penyidik Jampidum Kejaksaan Agung akan membantu penyidik dari Ditjen Pajak dalam menyidik kasus itu, serta meneliti barang bukti yang mencapai 1500 kardus.
"Diharapkan agar perkara ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dapat dilimpahkan ke pengadilan," kata Jampidum. (*)
Rabu, 07 November 2007
Penggelapan Pajak Asian Agri Harus Masuk Pengadilan: Semua aset perusahaan pemilik Asian Agri bisa dibekukan
Direktur Intelijen dari Penyidikan Ditjen Pajak Mochamad Tjiptardjo yang dihubungi Investor Daily mengungkapkan, kasus penggelapan pajak yang diduga dilakukan PT Asia Agri terus diproses.
Penyidik Ditjen Pajak, menurut dia, telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka. "Jumlah tersangka belum bertambah," ujar Tjip? tardjo yang dihubungi Investor Daily di Jakarta, Selasa (6/11).
Dia mengungkapkan, penyidikan kasus tersebut masih berjalan dan Ditjen Pajak masih terus mengumpulkan barang bukti. "Memang butuh waktu," tutur Tjiptardjo.
Ditanya apakah kasus tersebut akan diselesaikan di luar pengadilan, Mochamad Tjiptardjo menegaskan, "Akhirnya akan diselesaikan melaluijalur apa, saya tidak berhak menjawab karena tugas saya hanya melakukan penyidikan."
Berdasarkan penyidikan Ditjen Pajak, negara menderita kerugian sekitar Rp 1,3 triliun akibat penggelapan pajak yang diduga dilakukan PI1 Asian Agri. Nilai kerugian negara itu merupakan gabungan dari biaya yang digelembungkan (markup) plus penciutan harga (underpricing) dan lindung nilai (hedging).
Dirjen Pajak Darmin Nasution sebelumnya menjelaskan, berdasarkan Pasal 44B UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), kasus Asian Agri dimungkinkan diselesaikan di luar jalur peradilan (out of court settlement). Itu bisa dilakukan asalkan perusahaan membayar pokok pajak ditambah denda setinggi-tingginya 400%. Dengan perhitungan itu, Depkeu berpotensi mendapatkan Rp 6,5 triliun dari dugaan kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun dari pajak ditambah denda 400%.
Jalur Hukum Anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo yang dihubungi Investor Daily mengemukakan, pemerintah harus menuntaskan kasus itu melalui pengadilan.
Menurut anggota Komisi XI DPR Andi Rahmat, bila dilanjutkan ke pengadilan, pemerintah harus tegas menyebutkan siapa yang akan diadili, apakah pemilik Asian Agri atau direksi Asian Agri.
Untuk itu, kata dia, selain menggunakan UU KUP, pemerintah harus menggunakan UU No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP). "Dengan begitu, pemerintah bisa saja membekukan semua aset pemilik perusahaan dalam rangka penyelesaian kasus ini," ucapnya.
Anggota Komisi XI DPR yang juga Ketua Pansus Pajak Melchias Markus Mekeng mengatakan, pemerintah harus berupaya agar Asian Agri mengembalikan uang negara.
"Konsekuensi Pasal 44B itu kan bagaimana penerimaan negara bertambah dari kasus pengelapan pajak, apalagi saat APBN membutuhkan dana seperti sekarang. Selama mengikuti ketentuan yang ada, DPR tidak akan mempersoalkan langkah pemerintah," papar Mekeng.
Anggota Komisi XI DPR Hamka Yandhu menjelaskan, pemerintah harus menyiapkan barang bukti yang kuat. "Persoalannya, jika kasus pajak dibawa ke pengadilan, Ditjen Pajak sering kalah karena menyangkut kurangnya database dan lemahnya barang bukti," katanya.
Salah satu petinggi Asian Agri yang tidak mau disebutkan namanya mengharapkan kasus tersebut segera diproses secara hukum.
Senin, 05 November 2007
Kasus Penggelapan Pajak Segera Dilimpahkan ke PN
”Kira-kira pertengahan November 2007, kasus itu akan dilimpahkan ke PN Bandung untuk disidangkan,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Zaenal Abidin, S.H. dan Tomi Kristianto, S.H., Jumat (2/11).
Menurut Zaenal, dalam kasus ini telah ditetapkan enam orang sebagai tersangka, yakni dua pegawai honorer pajak, H. Win dan Pun, tiga pegawai notaris, Ras, Fah, dan Yun serta seorang lagi H. Yus, PNS kantor pajak. Keenam orang itu ditahan di Rutan Kebonwaru.
”Dari enam tersangka, di-split (dipilah) menjadi dua berkas, yakni lima tersangka disatukan, sementara tersangka H. Yus dibuat dalam berkas terpisah,” ujar Zaenal.
Memalsukan cap. Selain keenam tersangka tersebut, lanjut Zaenal, ada seorang tersangka lagi, yaitu Yul, pegawai notaris yang berperan sebagai penerima uang hasil kejahatan. ”Namun dia tidak ditahan dan berkasnya dibikin terpisah,” katanya.
Zaenal menjelaskan, tersangka Ras, Fah, dan Yun (pegawai notaris) diduga menerima setoran pajak jual beli atau dikenal dengan setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 10% dari total harga objek pajak, dengan rincian 5% dari penjual dan 5% dari pembeli per transaksi.
Setelah dibuatkan formulir, blanko dan uangnya diserahkan ke H. Win (pegawai honorer pajak). Oleh H. Win dipalsukan, seolah-olah uang BPHTB tadi telah disetorkan ke Bank Jabar dengan memalsukan cap Bank Jabar serta tanda tangan pejabat Bank Jabar. (A-113)