Kamis, 08 November 2007

Penggelapan Pajak Asian Agri Senilai Rp1,34 Trln Mulai Disidik

[Antara News] - Dugaan penggelapan pajak sebesar Rp1,340 triliun yang dilakukan sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group mulai disidik tim gabungan Kejaksaan Agung dan pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Keuangan Pusat.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, AH. Ritonga, di Jakarta, Kamis, mengatakan tim penyidik juga sudah menetapkan delapan tersangka dalam kasus itu. Kedelapan tersangka itu adalah ST, WD, LA, TBK, AN, EL, LBH dan SL.

"Nama tersangka masih dalam inisial karena masih dalam penyidikan PPNS pada Ditjen Pajak," kata Jampidum. Jampidum tidak bersedia merinci identitas para tersangka. Dia hanya menyatakan bahwa ST adalah pihak yang menandatangani surat pemberitahuan pajak.

Perusahaan-perusahaan itu dinilai tidak memberikan atau memberikan data yang tidak benar dalam surat pemberitahuan pajak. Perbuatan itu merupakan pelanggaran hukum, seperti diatur dalam pasal 39 UU Perpajakan.

Menurut Jampidum, modus yang ditempuh adalah penggelembungan pengeluaran perusahaan, antara lain dengan mencantumkan pengeluaran manajemen fiktif.

Jampidum menyatakan penggelapan pajak tersebut berlangsung sekian lama. Temuan terakhir penyidik menyebutkan penggelapan terakhir terjadi pada Mei 2007.

Dengan menaikkan data pengeluaran, maka perusahaan itu bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak.

Tim penyidik Jampidum Kejaksaan Agung akan membantu penyidik dari Ditjen Pajak dalam menyidik kasus itu, serta meneliti barang bukti yang mencapai 1500 kardus.

"Diharapkan agar perkara ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dapat dilimpahkan ke pengadilan," kata Jampidum. (*)

Rabu, 07 November 2007

Penggelapan Pajak Asian Agri Harus Masuk Pengadilan: Semua aset perusahaan pemilik Asian Agri bisa dibekukan

[Investor Daily] -Ditjen Pajak terus memproses penggelapan pajak senilai Rp 1,3 triliun yang diduga dilakukan PT Asia Agri. Bersamaan dengan itu, kalangan anggota DPR mendesak pemerintah menuntaskan kasus tersebut sampai pengadilan, bahkan bila perlu membekukan semua aset pemilik Asian Agri.

Direktur Intelijen dari Penyidikan Ditjen Pajak Mochamad Tjiptardjo yang dihubungi Investor Daily mengungkapkan, kasus penggelapan pajak yang diduga dilakukan PT Asia Agri terus diproses.

Penyidik Ditjen Pajak, menurut dia, telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka. "Jumlah tersangka belum bertambah," ujar Tjip? tardjo yang dihubungi Investor Daily di Jakarta, Selasa (6/11).

Dia mengungkapkan, penyidikan kasus tersebut masih berjalan dan Ditjen Pajak masih terus mengumpulkan barang bukti. "Memang butuh waktu," tutur Tjiptardjo.

Ditanya apakah kasus tersebut akan diselesaikan di luar pengadilan, Mochamad Tjiptardjo menegaskan, "Akhirnya akan diselesaikan melaluijalur apa, saya tidak berhak menjawab karena tugas saya hanya melakukan penyidikan."

Berdasarkan penyidikan Ditjen Pajak, negara menderita kerugian sekitar Rp 1,3 triliun akibat penggelapan pajak yang diduga dilakukan PI1 Asian Agri. Nilai kerugian negara itu merupakan gabungan dari biaya yang digelembungkan (markup) plus penciutan harga (underpricing) dan lindung nilai (hedging).

Dirjen Pajak Darmin Nasution sebelumnya menjelaskan, berdasarkan Pasal 44B UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), kasus Asian Agri dimungkinkan diselesaikan di luar jalur peradilan (out of court settlement). Itu bisa dilakukan asalkan perusahaan membayar pokok pajak ditambah denda setinggi-tingginya 400%. Dengan perhitungan itu, Depkeu berpotensi mendapatkan Rp 6,5 triliun dari dugaan kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun dari pajak ditambah denda 400%.

Jalur Hukum Anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo yang dihubungi Investor Daily mengemukakan, pemerintah harus menuntaskan kasus itu melalui pengadilan.

Menurut anggota Komisi XI DPR Andi Rahmat, bila dilanjutkan ke pengadilan, pemerintah harus tegas menyebutkan siapa yang akan diadili, apakah pemilik Asian Agri atau direksi Asian Agri.

Untuk itu, kata dia, selain menggunakan UU KUP, pemerintah harus menggunakan UU No 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP). "Dengan begitu, pemerintah bisa saja membekukan semua aset pemilik perusahaan dalam rangka penyelesaian kasus ini," ucapnya.

Anggota Komisi XI DPR yang juga Ketua Pansus Pajak Melchias Markus Mekeng mengatakan, pemerintah harus berupaya agar Asian Agri mengembalikan uang negara.

"Konsekuensi Pasal 44B itu kan bagaimana penerimaan negara bertambah dari kasus pengelapan pajak, apalagi saat APBN membutuhkan dana seperti sekarang. Selama mengikuti ketentuan yang ada, DPR tidak akan mempersoalkan langkah pemerintah," papar Mekeng.

Anggota Komisi XI DPR Hamka Yandhu menjelaskan, pemerintah harus menyiapkan barang bukti yang kuat. "Persoalannya, jika kasus pajak dibawa ke pengadilan, Ditjen Pajak sering kalah karena menyangkut kurangnya database dan lemahnya barang bukti," katanya.

Salah satu petinggi Asian Agri yang tidak mau disebutkan namanya mengharapkan kasus tersebut segera diproses secara hukum.

Senin, 05 November 2007

Kasus Penggelapan Pajak Segera Dilimpahkan ke PN

[Pikiran Rakyat] -Kasus pemalsuan ribuan dokumen pajak dan penggelapan miliaran rupiah uang setoran pajak di wilayah Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) Bandung I, dijadwalkan akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung pertengahan November 2007. Sebelumnya, kasus ini sudah dilimpahkan dari penyidik Polresta Bandung Tengah ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung.

”Kira-kira pertengahan November 2007, kasus itu akan dilimpahkan ke PN Bandung untuk disidangkan,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Zaenal Abidin, S.H. dan Tomi Kristianto, S.H., Jumat (2/11).

Menurut Zaenal, dalam kasus ini telah ditetapkan enam orang sebagai tersangka, yakni dua pegawai honorer pajak, H. Win dan Pun, tiga pegawai notaris, Ras, Fah, dan Yun serta seorang lagi H. Yus, PNS kantor pajak. Keenam orang itu ditahan di Rutan Kebonwaru.

”Dari enam tersangka, di-split (dipilah) menjadi dua berkas, yakni lima tersangka disatukan, sementara tersangka H. Yus dibuat dalam berkas terpisah,” ujar Zaenal.

Memalsukan cap. Selain keenam tersangka tersebut, lanjut Zaenal, ada seorang tersangka lagi, yaitu Yul, pegawai notaris yang berperan sebagai penerima uang hasil kejahatan. ”Namun dia tidak ditahan dan berkasnya dibikin terpisah,” katanya.

Zaenal menjelaskan, tersangka Ras, Fah, dan Yun (pegawai notaris) diduga menerima setoran pajak jual beli atau dikenal dengan setoran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) 10% dari total harga objek pajak, dengan rincian 5% dari penjual dan 5% dari pembeli per transaksi.

Setelah dibuatkan formulir, blanko dan uangnya diserahkan ke H. Win (pegawai honorer pajak). Oleh H. Win dipalsukan, seolah-olah uang BPHTB tadi telah disetorkan ke Bank Jabar dengan memalsukan cap Bank Jabar serta tanda tangan pejabat Bank Jabar. (A-113)

Rabu, 11 Juli 2007

Dugaan Penggelapan Pajak di Indosat Dilaporkan ke KPK

[Antara News] - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Warwan Batubara bersama Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan Forum Aktivis Kampus Ibukota, pada Rabu mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan dugaan korupsi berupa penggelapan pajak di PT Indosat Tbk.

Mereka mendatangi KPK setelah laporan sebelumnya ke Mabes Polri terhadap kasus yang sama, tidak mendapatkan tanggapan. "Kami sudah melaporkan kasus ini ke Mabes Polri. Tetapi, karena belum ada tanggapan, maka kami sekarang melapor ke KPK," kata Marwan di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Rabu.

Marwan bersama Ikatan Alumni Universitas Indonesia, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan Forum Aktivis Kampus Ibukota telah melaporkan kasus tersebut ke Mabes Polri pada 19 Juni 2007. Marwan menjelaskan, dugaan korupsi di PT Indosat berupa penggelapan pajak yang dilakukan sejak 2004 dan merugikan negara hingga Rp323 miliar.

"Caranya, dengan merekayasa keuangan laporan keuangan sejak 2004 sehingga mengakibatkan potensi penerimaan pajak yang merugikan negara Rp323 miliar," tuturnya. Manajemen PT Indosat, lanjut Marwan, diduga merekayasa transaksi derivatif perusahaan tersebut sehingga laporan keuangannya seolah-olah mengalami penurunan laba.

"Padahal hasil audit Ernest and Young menunjukkan laporan keuangan Indosat tidak masuk kategori merugi," ujarnya. Neraca keuangan Indosat tahun 2004 mencantumkan kerugian sebesar Rp70,45 miliar, tahun 2005 merugi Rp 44,21 miliar dan tahun 2006 merugi Rp438 miliar.

Penggelapan pajak, lanjut Marwan juga terjadi pada program "free talk" yang berlangsung sejak April 2006. "Ini program promosi, bukan diskon. Jadi harus kena pajak," ujarnya.

Akibat program tersebut, kata Marwan, negara dirugikan sekitar Rp70 miliar karena Indosat tidak pernah membayar pajak untuk program tersebut. Marwan menambahkan, juga terjadi penyimpangan dalam tender proyek Ekspansi Jaringan Radio GSM tahun 2005 yang merugikan negara sekitar Rp124 miliar.

Kerugian itu disebabkan Indosat memenangkan perusahaan yang menawarkan harga tertinggi dalam tender.(*)

Kamis, 07 Juni 2007

Pemerintah Siapkan Dua Opsi Untuk Pengemplang Pajak

[Investor Daily] - Ditjen Pajak mengajukan dua opsi untuk menyelesaikan kasus perpajakan semasa krisis ekonomi 1997 hingga masa pemulihan 2001.

Pertama, tetap mengejar para wajib pajak (WP) yang belum melunasi kewajibannya. Kedua, memberikan pengampunan pajak (tax amnesty).

"Meski masanya sudah lewat, kami tetap harus mengkajinya. Itu bisa dikejar satu-satu, bisa juga tidak, yakni melalui tax amnesty," ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution pada sarasehan dengan pimpinan redaksi media massa di Jakarta, Selasa malam (5/6).

Menurut Darmin, pada 1997-2001, pemerintah menempuh berbagai upaya untuk menyelamatkan ekonomi. "Misalnya mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), memberikan penjaminan nasabah bank, dana rekapitalisasi, haircut utang swasta, dan restrukturisasi aset. Di situ ada persoalan pajak," paparnya. Namun, dia menegaskan, dua opsi itu harus menjadi kebijakan nasional, tidak bisa diselesaikan hanya berdasarkan keputusan dirjen pajak. "Harus ada keputusan bersama, ujung-ujungnya ada di presiden. Masa pajak kan memiliki masa kedaluwarsa 10 tahun. Jadi, ini harus segera diputuskan," tandasnya.

Darmin juga mengungkapkan, dari total jumlah WP perorangan tahun lalu sebanyak 3,3 juta, hanya 2,9 juta yang efektif membayar pajak secara rutin. Dari jumlah itu pun, hanya 33% yang memasukkan surat pemberitahuan (SPT). Di sisi lain, dari 1,3 juta WP badan (perusahaan), hanya 34% saja yang memasukkan SPT.

Rabu, 30 Mei 2007

Pejabat Pengemplang Pajak Dilaporkan Ke Presiden

[Tempo Interaktif] - Menteri yang mengemplang pajak akan dilaporkan pada Presiden. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak juga akan melaporkan pegawai Badan Usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pegawai negeri sipil dari tingkat eselon I sampai IV akan dilaporkan juga kepada pimpinan atau kepala departemen terkait.

"Namun orang-orangnya tetap rahasia, karena harus dilaporkan dulu ke Presiden besok," kata Direktur Jenderal Pajak Departemen Keuangan Darmin Nasution seusai melakukan rapat kerja dengan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Perpajakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Jumlah yang paling banyak berada di perusahaan negara, karena mereka punya kemampuan dan berpotensi sebagai wajib pajak aktif. Tingkatannya tersebar mulai dari karyawan badan usaha milik negara, komisaris, anggota direksi, sampai karyawan.Mereka umumnya tidak memiliki nomor pokok wajib pajak. "Jumlahnya bisa diatas 200 ribu orang, " kata dia.

Jumat, 18 Mei 2007

Sanksi Pengemplang Pajak Dikembalikan Ke Undang-Undang

[Tempo Interaktif] - Direktorat Jenderal Pajak diminta untuk tetap berpedoman pada Undang-Undang No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan dalam hal pemberian sanksi kepada setiap wajib pajak yang tidak membayar kewajiban pajaknya.

"Setiap wajib pajak di mata undang-undang diperlakukan sama, tanpa pandang bulu,ini juga tertuang dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang baru" kata Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dradjad H. Wibowo saat dihubungi Tempo Jumat (18/5).

Menurut aturan tersebut, kata Dradjad, setiap pengemplang pajak harus diberi sanksi empat kali wajib membayar denda empat kali dari besaran pajak terutang. "Bahkan kalau memang ada unsur pidananya, kan disebutkan juga ancaman pidananya," katanya.

Sesuai pasal 39 Ayat (1) C dan atau Pasal 43 Ayat (1) UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah UU No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan setiap pihak yang sengaja tidak membayar atau memberikan laporan kewajiban pajaknya secara keliru diancam pidana di bidang perpajakan paling lama enam tahun dan denda paling tinggi empat kali jumlah pajak terutang.